Selasa, 05 Mei 2009

SERUAN JENEWA TENTANG PAPUA

PAPUA, TANAH DAMAI”

April 2005


Pengantar

Lebih dari empat dasawarsa umat beragama dari semua kepercayaan di Papua sudah dan sedang merindukan perdamaian dan keadilan. Sejak 1998, sudah terjadi perubahan di Indonesia yang menghasilkan kadar demokrasi yang lebih luas. Secara khusus bagi daerah Papua, sudah disetujui Undang-undang No.21/2001 tentang Otonomi Khusus yang mengandung harapan akan pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya bagi masyarakat Papua, dan ruang yang lebih luas untuk pemerintahan yang lebih demokratis di Papua.

Namun, perubahan-perubahan ini belum menghasilkan perbaikan yang nyata dalam kehidupan, keamanan, dan martabat dari bagian terbesar masyarakat Papua. Perampasan hak-hak dan ketidakadilan yang berkelanjutan yang dialami oleh kebanyakan orang Papua, bersamaan dengan kebijakan-kebijakan negara Indonesia yang saling bertentangan dan buruknya tingkat penegakan hukum, berakibat pada bertumbuhnya iklim konflik. Bertentangan dengan perangkat hukum hak-hak asasi manusia international dan konvensi-konvensi international hak-hak asasi manusia dimana Indonesia telah menjadi anggotanya, pelanggaran hak-hak asasi manusia masih terus terjadi di Papua selama lebih dari empat dasawarsa. Pemerintah Indonesia dapat melakukan kemajuan yang signifikan dalam melaksanakan kewajibannya untuk menginvestigasi, mengadili, dan menghukum pada pelaku kejahatan-kejahatan ini, dan untuk mengganti kerugian bagi para korban.

Dalam tahun-tahun terakhir ini, operasi–operasi militer bukannya menurun tetapi justru meningkat sehingga mengancam keberadaan dan kehidupan orang Papua baik secara budaya maupun sebagai kelompok etnik. Pendekatan keamanan untuk menghadapi apa yang disebut separatisme dan suara-suara kritis tidak menciptakan keamanan bagi penduduk. Pengabaian fasilitas pendidikan dan kesehatan oleh negara berarti bahwa masyarakat Papua berada di tingkat paling rendah dalam standar pendidikan, kesehatan, dan harapan hidup di Indonesia. Kini, telah tiga tahun berlalu sejak UU OTSUS disahkan; tetapi daripada diterapkan secara efektif, lengkap, dan menyeluruh – justru terdapat kekuatiran akan meningkatnya konflik dan kekerasan.

Dalam tahun-tahun belakangan ini , konflik antarwarga sudah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Analisis atas konflik-konflik ini menunjukkan bahwa sekalipun tidak ada permusuhan di antara warga masyarakat di daerah yang sama, sejumlah orang yang mempunyai kepentingan politik dan kekuasaan dapat dengan mudah merekayasa konflik terbuka berdasarkan suku dan agama. Seringkali milisi bersenjata dan preman terlibat dalam menciptakan konflik. Seandainya skenario serupa dikembangkan di Papua, akibatyang dapat diramalkanadalah militerisasi, menguatnya pendekatan keamanan, dan dengan konsekwensinya adalah memburuknya situasi hak-hak asasi manusia dan rasa aman masyarakat. Keprihatinan ini mendorong para pimpinan agama di Papua untuk menetapkan program kerja dalam memajukan hubungan-hubungan harmonis, persatuan dan persaudaraan diantara semua orang. Mereka yakin bahwa hanya apabila umat mereka bersatu dalam semangat persaudaraan dan saling menghormati, mereka akan dengan mudah bekerjasama demi kesejahteraan umum. Maka mereka telah memulai gerakan yang mereka namakan “Papua, Tanah Damai”.

PAPUA, TANAH DAMAI

Papua, Tanah Damai” merefleksikan hasrat terdalam dari masyarakat Papua. Damai mencakup kepercayaan, saling menghormati, keadilan, pengakhiran praktekkebal hukum dan kebal salah, dan kesempatan yang adil untuk pembangunan. Damai adalah suatu idaman tentang ruang yang memadai untuk mengadakan dialog politik tanpa rasa takut akan stigmatisasi. Idaman ini sudah menjadi suatu visi bersama untuk orang-orang dari semua agama di Papua, yang bermuara pada satu tekad yang kuat untuk menyelesaikan masalah tanpa kekerasan dalam semua aspek kehidupan. Tekad ini mereka ungkapkan melalui doa damai dan perarakan damai pada kesempatan perayaan Hari Damai Papua, 5 Februari, dan Hari Internasional untuk Perdamaian, 21 September, yang dirayakan bersama oleh semua umat beragama. Sebagai bukti dari tekad ini pimpinan umat beragama juga melibatkan diri dalam berbagai kegiatan untuk memajukan perdamaian, dialog, dan keadilan di Papua.

Menanggapi inisiatif dari para pimpinan agama ini, beberapa organisasi keagamaan di dunia sudah mengorganisir bersama suatu jejaring yang bertekad untuk mendukung kampanye “Papua, Tanah Damai”. Jejaring ini bertujuan untuk menarik perhatian komunitas keagamaan mereka, pemerintah mereka, dan komunitas internasional pada penderitaan masyarakat Papua. Jejaring ini mendesak mereka agar secara proaktif membantu pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ditemui oleh orang-orang Papua dalam kerangka perubahan secara damai.

BERSAMA DENGAN PARA PIMPINAN AGAMA DI PAPUA, JEJARING ANTARAGAMA UNTUK PAPUA MENENGARAI TIGA TANTANGAN UTAMA:

1. Dialog

Undang-Undang Otonomi Khusus (UU OTSUS) di Papua, sebagaimana disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, merupakan suatu permulaan yang baik untuk perubahan. Namun terdapat berbagai tanda yang salaing bertentangan dari pemerintah di Jakarta dan dari komando militer tentang status dari UU OTSUS, penafsiran danpelaksanaannya. Di Papua terdapat keprihatinan yang mendalam tentang keputusan pemerintah pusat untuk membagi Papua menjadi dua atau tiga provinsi tanpa perundingan demokratis (suatu keputusan yang bertentangan dengan semangat dan ketentuan UU OTSUS), dan tentang peran sertaa kewenangan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pihak-pihak yang mengungkapkan keprihatinan-keprihatinan ini serta merta dicap sebagai separatis oleh para pejabat di Papua. Jadi ada tantangan yang berkelanjutan untuk menjernihkan penafisiran UU OTSUS untuk menjamin kebijakan yang utuh dan untuk melangkah maju dalam melaksanakan sepenuhnya UU ini sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Ada suatu kebutuhan yang mendesak akan adanya dialog terbuka dan sejati antara semua pihak yang terlibat, termasuk pemerintah pusat, partai-partai politik nasional, dan angkatan bersenjata.

2. Militerisasi

Kehadiran militer (TNI) yang berlebihan di Papua merupakan tantangan berat bagi upaya membangun damai, dialog terbuka, dan keadilan. Kehadiran militer sedemikian sering melahirkan konflik. Bersadarkan pada akar sejarahnya dan doktrin TNI sebagai “Tentara Rakyat”, peran militer adalah untuk membela bangsa dan masyarakat dari ancaman-ancaman dari luar. Kehadiran militer seharusnya tidak melahirkan konflik dalam dan dengan masyarakat. Polisilah yang memiliki tanggung jawab atas kertertiban umum, dan mesti dilatih untuk menegakkan hukum secara professional. Pemerintah Indonesia sudah menerima prinsip ini sebagai dasar dari segala usahanya untuk pembaruan bidang keamanan. Pelaksanaan prinsip ini sepenuhnya dan perubahan paradigma militer-sipil adalah sangat penting untuk tegaknya supremasi sipil, penegakan hukum dan budaya damai. Dengan ini kehadiran militer dapat ditempatkan kembali pada ukuran yang layak dan masuk akal. Sebab itu, adalah wajar untuk memperkokoh usaha-usaha pembaruan yang berkelanjutan dalam tubuh militer guna menjadikannya lebih profesional dan lebih memiliki sarana dan prasarana yang memadai .

3. Perdamaian

Kampanye untuk “Papua, Tanah Damai” bukan semata-mata usaha politik kelompok masyarakat tertentu. Kampanye ini mencakup pengembangan sosial ekonomi, hak-hak budaya, keadilan dan keamanan masyarakat. Untuk mengatasi kecurigaan dan perpecahan yang terjadi atas dasarsuku, agama, aspirasi-aspirasi dan kepentingan-kepentingan politik, konsep tentang “Papua, Tanah Damai” mesti ditanamkan dalam hati setiap orang dari komunitas-komunitas umat agama dan etnis yang bersangkutan, dan tidak hanya di Papua. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan konsep “Papua, Tanah Damai” menjadi sikap dasar dalam penyelesaian persoalan-persoalan di Papua, oleh masyarakat, oleh pemerintah, dan oleh dunia internasional. Hal ini juga harus mengilhami sikap semua komunitas keagamaan dan pimpinannya di Papua, di Indonesia secara keseluruhan, dan dimana saja.


SERUAN DARI NETWORK

1. Meminta Kepada Pemerintah Indonesia untuk:
  1. -Melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat asli di Papua.

  2. -Memberlakukan pendekatan hak-hak asasi manusia dalam melaksanakan UU OTSUS No.21/2001 dengan:

    1. - melaksanakan sepenuhnya pasal-pasal yang menyangkut ekonomi, sosial, dan kebudayaan dalam UU OTSUS.

    2. -Menciptakan ruang bagi dialog demokratis, sesuai dengan semangat dari UU OTSUS.

  3. -Mengakui penolakan dari orang Papua atas pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi yang terpisah dengan menghentikan segala usaha untuk membagi Papua, dan melaksanakan proses yang terbuka dan demokratis untuk meninjau kembali pembentukan provinsi Irian Jaya Barat.

  4. -DPRP Papua dan MRP mesti mengambil keputusan tentang pembentukan setiap provinsi dan kabupaten baru sesuai dengan UU OTSUS.

  5. -Meratifikasi tanpa syarat semua perangkat hukum internasional utama tentang hak-hak asasi manusia, khususnya kovenan tentang hak-hak Sipil dan Politik serta kovenan hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

  6. -Menarik kembali keberatan-keberatan atas Konvensi Internasional atas Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi rasial; Konvensi atas Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; Konvensi melawan Penyiksaan dan Perlakuan-perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, atau menghina atau penghukuman; dan Konvensi mengenai Hak Anak.

  7. -Bekerjasama secara sungguh-sungguh dalam dengan Prosedur Khusus HAM PBB dengan mengundang dan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada tempat-tempat, individu-individu dan komunitas-komunitas di Papua dan semua bagian lain di Indonesia pada mekanisme tematis, secara khusus kepada mereka yang sudah berungkali memohon undangan tapi sejauh ini belum mendapatkan izin untuk mengunjungi. Hal ini termasuk Pelapor Khusus tentang Penyiksaan, Perwakilan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk pembela hak-hak asasi manusia dan Pelapor Khusus tentang Kekerasan terhadap Perempuan, sebab-sebab dan konsekwensi-konsewensinya.

2. Kepada Sekretaris Jenderal dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Komisi Tinggi Hak-hak Asasi Manusia:
  1. -Memberikan dukungan seperlunya kepada Pemerintah Indonesia untuk memajukan perdamaian dan menyelesaikan konflik melalui mekanisme yang terkandung dalam UU OTSUS.

  2. -Memberikan dukungan seperlunya kepada Pemerintah Indonesia untuk menegakkan hukum dan dengan demikian untuk memberantas pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia, kebal hukum dan kebal salah serta korupsi yang merajalela.

  3. -Mendesak Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi semua perangkat hukum international utama tentang hak-hak asasi manusia, terutama dua konvensi tentang hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

3. Kepada Pemerintah-pemerintah dari negara-negara yang mempunyai hubungan dengan Indonesia, terutama negara-negara Asia:
  1. -Berhadapan dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kemungkinan akan meletusnya konflik kekerasan melawan penduduk Papua, secara aktif mendorong Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk terlibat dalam pemajuan perdamaian dan hak-hak asasi manusia di Papua.

  2. -Memberikan dukungan seperlunya kepada Pemerintah Indonesia untuk menegakkan hukum untuk memberantas pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia, kebal hukum dan kebal salah serta korupsi yang merajalela.

  3. -Mendukung secara aktif dan konkret kampanye dari para pimpinan agama dari Papua tentang Tanah Damai melalui mekanisme bilateral dan multilateral.

  4. -Menyerukan kepada pemerintah Indonesia agar secara serius bertekad untuk penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap penduduk asli Papua.

  5. -Mengawasi investasi perusahan-perusahan transnasional di Papua, dan mendorong agar kebijakan dari perusahan-perusahan ini menghormati hak-hak orang Papua.

  6. -Mendukung Dewan dan Komisi Uni Eropa untuk mengawasi keadaan hak-hak asasi manusia dan ruang demokrasi di Papua dan, berdasarkan temuan fakta-fakta di lapangan, merumuskan kebijakan bantuan dan perdangan sedemikian rupa sehingga memajukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta hak-hak asasi manusia; dan mengevaluasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi manusia dalam semua kesepakatan multilateral.


4. Kepada Dewan, Komisi dan Parlemen Uni Eropa:

  1. -Berhadapan dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kemungkinan akan meletusnya konflik kekerasan melawan penduduk di Papua, secara aktif mendorong Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk terlibat dalam pemajuan perdamaian di Papua.

  2. -Mengawasi keadaan hak-hak asasi manusia dan ruang demokrasi di Papua dan, berdasarkan temuan fakta-fakta di lapangan, merumuskan kebijakan bantuan dan perdagangan sedemikian rupa sehingga memajukan pemerintahan bersih dan berwibawa serta hak-hak asasi manusia; dan mengevaluasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi manusia dalam semua kesepakatan multilateral.

  3. -Mengevaluasi dan menjajaki program Uni Eropa untuk mendukung pelaksanaan UU OTSUS, dan melaporkannnya kepada masyarakat luas sebelum akhir tahun 2005 mengenai dampak dan kelanjutannya.

5. Kepada Perusahan-perusahan Transnasional yang beroperasi di Papua:

  1. Menyusun pedoman etika kerja bagi bisnisnya dan mengatur hubungannya dengan lembaga-lembaga negara Indonesia sedemikian rupa sehingga menghormati dan memperkokoh hak-hak, martabat, kesehatan dan kehidupan dari orang-orang Papua sesuai dengan norma-norma dari Perserikatan Banga-Bangsa tentang tanggungjawab dari perusahan-perusahan transnasional dan perusahan-perusahan bisnis lainnya dalam kaitan dengan hak-hak asasi manusia.

  2. -Mengevaluasi dan menjajaki pelaksanaan dari kebijakan-kebijakan ini serta dampaknya dan memaparkannya dalam laporan tahunan.

  3. -Memberikan laporan-laporan yang transparan atas semua komitment keuangan kepada lembaga-lembaga negara Indonesia.

6. Kepada Komunitas-Komunitas Keagaaman dari Semua Aliran Kepercayaan:

  1. -Secara teratur mengingat orang-orang Papua dalam doa dan permohonanmu.

  2. -Mendukung dengan berbagai cara atas usaha-usaha dari para pimpinan agama di Papua untuk melaksanakan kampanye tentang “Papua, Tanah Damai”.

  3. -Bersandarkan pada pengamatan yang seksama atas situasi di Papua, angkat suara kenabianmu dalam solidaritas dengan orang-orang yang menderita di Papua.

  4. -Bergabung dengan Jejaringan Antaragama untuk Papua yang mendukung kampanye “Papua, Tanah Damai.”

*****************

Alamat Kontak: Sekretariat, Jejaring Antaragama untuk Papua

E-mail: WestPapuanetwork@gmail.com





HIV/AIDS di Papua, Indonesia


HIV/AIDS in Indonesian Papua

(Update terakhir, Okt 5, 2005)
(Last update, Oct 5, 2005)

(Langsung pada) laporan, dll.


(Directly to) reports, etc.

Lantar Belakang

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah salah satu isu serius dalam dunia kesehatan di Papua (dan Irian Jaya Barat). Gambar 1 menggambarkan bahwa lebih banyak kasus AIDS (1000 orang) dan jumlah orang yang meninggal akibat AIDS (108 orang) di Papua dibanding dengan propinsi lainnya di Indonesia (kecuali DKI Jakarta), terlepas dari kenyataan bahwa penduduk Papua (+Irjabar) hanya kurang dari 1% penduduk Indonesia. Hal yang perlu digaris-bawahi adalah mungkin ada banyak kasus AIDS yang belum dilaporkan di Papua dan umumnya penderita yang terinfeksi virus HIV lebih tinggi dibandingkan jumlah kasus AIDS yang diketahui. Beberapa institusi pemerintah dan LSM saat ini sedang mencurahkan perhatian dalam mengatasi HIV/AIDS di Indonesia, namun penanganan masalah tersebut membutuhkan banyak sumberdaya dan tindakan segera. Tercatat ada peningkatan dramatis laporan kasus AIDS di Papua (dari 15 kasus yang dilaporkan di tahun 1996 menjadi lebih dari 1170 kasus AIDS s/d Juni 2005).

Background

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) is one of the most serious recent public health issues in Papua (and West Irian Jaya). Figure 1 illustrates that more cases of AIDS (1000 people) and AIDS fatalities (108 people) have been reported in Papua than any other province in Indonesia (except Jakarta), despite the fact that Papua (+Irjabar) has less than 1% of the nation's population. It is also important to note that there may be many unreported cases of AIDS in Papua, and HIV infection rates are typically significantly higher than recognised cases of AIDS. While a number of government and non-government agencies are now paying attention to HIV/AIDS in Indonesia, the problem demands greater resources and immediate action. There has been a dramatic increase in reported cases of AIDS in Papua (from 15 reported cases of AIDS in 1996 to more than 1170 AIDS cases by June 2005).


Propinsi yang terjangkit HIV/AIDS * - 1 - Provinces affected by HIV/AIDS *


* Gambar 1 diambil dari ringkasan data triwulan kasus AIDS kumulatif pada June 2005, yang dipublikasikan oleh Departemen Kesehatan. Data ini hanya mencakup propinsi dengan jumlah kasus AIDS diatas 300 sampai dengan Juni 2005. Catatan: Sesuai dengan data triwulan, sampai dengan June 2005 kumulatif kasus AIDS per 100.000 penduduk secara nasional sebesar 1.67. Rate tertinggi terjadi di propinsi Papua and Irjabar sebesar 26.6 (16 kali angka nasional), diikuti propinsi DKI Jakarta sebesar 19.3, dll (lihat Gambar 2). Untuk informasi lebih lengkap, lihat www.depkes.go.id.
* Figure 1 was prepared from data contained in the June 2005 quarterly summary of cumulative AIDS cases reported in Indonesia, published by the Indonesian Department of Health. It includes only those provinces with more than 300 recorded cases of AIDS as of June 2005. Note: According to data from the trimonthly data to June 2005, the national rate of reported AIDS cases is 1.67 in 100,000. The highest rate of reported AIDS cases is 26.6 people in 100,000 in Papua and West Irian Jaya (16 times the national average) followed by the City of Jakarta with a rate of 19.3, etc (see Figure 2). For more complete information, see www.depkes.go.id.

- 2 - Prevalensi kasus AIDS per 100.000 * Prevalence of AIDS cases per 100,000 * - 2 -






* TABLE 2 was prepared from data contained in the June 2005 quarterly summary of cumulative AIDS cases reported in Indonesia, published by the Indonesian Department of Health. It includes only those provinces with a prevalence of more than 3 cases in 100,000.



(General statistics on HIV/AIDS in Indonesia)

(Culumative HIV/AIDS cases by province)


(Prevalence of AIDS cases per 100,000 people by province)
(Total of new HIV/AIDS cases in Indonesia based on yearly reports) (miscallenous table)

Laporan, presentasi, dll.


Reports, presentations, etc.

Komitmen Sentani terhadap HIV/AIDS di Indonesia.
Plaket kesadaran HIV/AIDS di Papua [1.2Mb].

Sentani Commitment on HIV/AIDS in Indonesia.
Poster for HIV/AIDS awareness in Papua [1.2Mb].

Preventing AIDS in Papua (pdf 200k) - Catatan
© Leslie Butt, Gerdha Numbery and Jake Morin, 2002.
Pengutipan laporan ini harus mencantunkan sumber tulisanya. Papuaweb menyambut baik penambahan laporan ini ke dalam koleksi perpustakaan digital dan berterimakasih pada penulis atas kesediaanya mencantumkan laporan ini. Papuaweb juga menghargai dukungan yang diberikan oleh: Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih, USAID dan Family Health International, serta Aksi STOP AIDS di Papua dalam mendukung penyelesaian laporan ini.

Preventing AIDS in Papua (pdf 200k) - Note
© Leslie Butt, Gerdha Numbery and Jake Morin, 2002.
Use of any part of this report for any reason must be acknowledged. Papuaweb welcomes the addition of this report to its digital library and thanks the authors for their willingness to make the report available. Papuaweb also recognises the support given to this project by The Research Foundation of Cenderawasih University, USAID and Family Health International, and Aksi STOP AIDS Papua.

Baseline prevalence and risk factors associated for STIs among newly-arrived female sex workers in Timika, Indonesia (Powerpoint 2.8Mb)
© N. Silitonga, E. Donegan, S.C. Davies, J. Kaldor, F.S. Wignall, M. Okoseray, J. Schachter, 2003. Pengutipan presentasi ini harus mencantunkan sumber tulisanya.

Baseline prevalence and risk factors associated for STIs among newly-arrived female sex workers in Timika, Indonesia (Powerpoint 2.8Mb)
© N. Silitonga, E. Donegan, S.C. Davies, J. Kaldor, F.S. Wignall, M. Okoseray, J. Schachter, 2003. Use of this presentation for any purpose must be acknowledged.

ISSUES AND CASES FROM PAPUA

"IGNOMINIES"

HUMAN RIGHTS APPEAL ON

INTERNATIONAL VIOLATIONS

IN WEST PAPUA

COMISSION ON HUMAN RIGHTS

Sub-Commission On The Promotion And Protection Of Human Rights

Working Group On Minorities

Seventh Session, 14 - 18 May 2001

Geneva – Switzerland


The West Papuan Community

Website: http://www.westpapua.org.uk

Email: tribal@westpapua.every1.net

© 2001

IGNOMINIES: Human Rights Appeal on the International Violations in West Papua -2-

Thou shalt not kill ...

(EXODUS 20:13)

A people cannot be preserved by authority;

and no people is willing to be preserved.

A people lives from within, or dies out.

No one, whether black or white, has the right to stop

us from fighting for our freedom.

One thing must be understood by everyone.

We are not demanding what is not ours; we are

demanding what is rightfully ours…

(Lawrence Dloga1)


1 Lawrence Dloga was a former Secretary General for the TPN/OPM – Liberation Army of the Free Papua Movement. He was murdered under a blame that he co-operated with the enemies, even though the rumour was developed by the enemies to kill Dloga. http://www.geocities.com/wp_tpnopm IGNOMINIES: Human Rights Appeal on the International Violations in West Papua -3-


Introduction

“…Why do you see the speck that is in your brother’s eye, but do not notice the log that is in your own eyes? ...” (Matthew 7:3)

Let us all be reminded that West Papua is still a specially RELEVANT case, as yet. In its entity, one cannot open up any matter pertaining to Human Rights Violations in West Papua without looking straight into the direct involvement of nearly all nation leaders of the world, decades ago.

Today’s Human Rights Violations in that “Non-Self Governing Territory” are dated back to the second half of 1950s, and essentially traced back to international political conspiracy, intentionally developed, and specially aimed at sacrificing the territory for the 1960s Cold War’s geo-political and geo-economical interests by the U.S.A. and its allies.

Nearly each of the world’s nations has its respective share of contribution in the territory’s Indonesianisation and its indigenous people’s minorization - not to mention a wide spectrum of Human Rights Violations that have become an integral part to its people’s daily life, as yet.

The question is: How long do you have to let the Papuans suffer

horrendous consequences of Human Rights Violations essentially created by your predecessors, in the KILLING OF A PAPUAN STATE AND NATION? Government Administrations, State Administrators, Political Figures, and Diplomatic Plenipotentiaries may have successively passed - but the problem still lingers on an international basis TO BE SETTLED. West Papua, April 13, 2001

IGNOMINIES: Human Rights Appeal on the International Violations in West Papua -4-

I. ANTI-PAPUAISM

Anti-Papuaism is the right term to define phenomenon adopted by U.S. President John F. Kennedy and some of his staffs as well as allies in their political attitude toward Papuans, especially in supporting completion of the Indonesia’s annexation claim over the territory. The phenomenon is reflected in various humiliating verbal expressions: “…New Guinea was not was not a part of the world where great powers should be rationally engaged…” (John F. Kennedy to the Dutch diplomats - The Hague, 1961) “…Those Papuans of yours are some 700.000 and living in the stone-age …” (John F. Kennedy to the Dutch Ambassador in Washington, 1961). “…The preposition that a pro-bloc if not communist Indonesia is an infinitely greater threat to them and to us than Indo possession of a few thousand miles of cannibal land…” (P. Komer, JFK’s Senior Staff) “Why did these individuals reflect their clear hatred to innocent West Papua?” is the key question. So far, there are three possible reasons that can provide as reasons for such humiliating and improper expressions by leading political figures and leaders of the civilised world’s powers: (1) Firstly, perhaps they really did not care about the people of West Papua. What they wanted to get out of the territory was the natural resource. Therefore, any efforts or attitudes that could pro-long the time for waiting before the exploitation processes were seriously opposed by the U.S.A. in various ways; (2) Besides, the expressions also explain how they had personal hatred against Papuans. These might most probably caused by the death of Michael Rockefeller, 23 year-old in Asmat Region of West Papua, from which time the world started calling Papuans as cannibals. Theoretically, there is no empirical evidence that can provide arguments that Papuans are cannibals and that The Young Rockefeller was “eaten” by Papuans. Our recent findings show that he was not “eaten” as it was told. We are

more than prepared to provide guides and assistance in searching the causes of his death, the true story from the Papuans on the death of dedicated Rockefeller, who should have become a hero for Papuans’ liberation, but who was then stopped by a mysterious hands in doing his humanitarian work he started some months before his assassination. The Cold War Era and the fear of the Communist Influence in Indonesia was the reason that forced the Netherlands to come to a compromise and accepted the recolonisation of West Papua by Indonesia, but this could not cause them to verbally express humiliating expressions as they did during that time.

II.THE ASSASINATION OF A STATE AND NATION

In the light of Resolution 1514 (XV) 14 December 1960, Declaration On The Granting Of Independence To Colonial Countries And Peoples:

UNGA,… Mindful of the determination proclaimed by the peoples of the world in the Charter of The United Nations to reaffirm faith in fundamental Human Rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women, and of nations large and small and to promote social progress and better standards of life in larger freedom (Para. 01 ) …UNGA,.. Aware of the increasing conflicts resulting from the denial or of impediments in the way of the freedom of such (colonized) people, which constitutes a serious threat to world peace, (Para. 04) … Immediate steps shall be taken, In Trust and Non-Self-Governing Territories or all other territories which have not yet attained independence, to transfer all powers to the people of those territories, WITHOUT ANY CONDITIONS OR RESERVATIONS, in accordance with their freely expressed will and desire, WITHOUT ANY DISTINCTION as to race, creed or colour, in order to enable them to enjoy COMPLETE INDEPENDENCE AND FREEDOM (Para. 13, Article 5) …

Unilateral territorial transfer of West Papua from its former Political Status as a Non-Self-Governing Territory to its current provincial status under Indonesia is clearly defined as “KILLING OF A STATE AND NATION’ - it has become the root of all current Human Rights Violations in the territory.

II.1. West Papua: A Non-Self-Governing Territory

UNGA, ...Solemnly proclaims the necessity of bringing to a speedy and unconditional end, colonialism in all its form and manifestation (Para. 11)”

Based on Article 73 (a) and (b) of the Charter, upon UNGA request, a colonial territorial assessment was carried out in 1946, by eight states (Australia, Belgium, Denmark, The Netherlands, New Zealand, UK, and the USA). Based on the territorial assessment made, 72 (seventy two colonies) throughout the world were formally declared as Non-Self-Governing Territory, including West Papua, which had to be prepared for Decolonization, for which purpose, UNGA Resolution 66 (I) of December 14, 1946, containing a Decolonization List was adopted. In the Round Table Conference between Indonesia and The Netherlands in 1949, the head of the Indonesian Delegation, former Vice President, Mr. Mohammed Hatta had clearly stated, that he recognized the rights of the West Papuans as a nation to become

independent. The statement had cut out all argumentations raised around the inclusion of West Papua as an integral part of the Republic. The case was dropped. What was done by Soekarno a couple of decades later was merely based on his expansionism ambitions.

Based on the Netherlands Government Official Gazette J.576 of December 22, 1949, it was decided that West New Guinea, would become autonomous, in the early 1950. The process was established, whereby West New Guinea, separated from the Moluccas Regency to become an autonomous territory, headed by a Governor.


II.2. UNGA Resolution 1514 (XV), 14 Dec. 1960 and its

related DISSEMINATION of information.

In its Resolution 1695 (XVI) the General Assembly, recalling the ‘Declaration On The granting Of Independence To Colonial Countries And Peoples’ contained in its resolution 1514 (XV),

considered that it was essential that the people of the Non-Self- Governing Territories be widely acquainted with the declaration.

The Administering Members were requested to take immediate steps for the widest possible circulation and dissemination of the Declaration, through all appropriate media of mass communication in all The Non-Self-Governing Territories in the principal local

languages as well as the languages of the Administering Members.

West Papuans were officially INFORMED on the process of

their freedom by the United Nations.

After noting the observations of the Committee on Information, the General Assembly adopted Resolution 1697 (XVI) on 19 December 1961, based on considerations that in the light of the ‘declaration’ contained in its Resolution 1514 (XV) of 14 December 1960, IMMEDIATE STEPS SHOULD BE TAKEN TO TRANSFER ALL POWERS TO THE PEOPLE OF THE NON-SELF-GOVERNING TERRITORIES WITHOUT ANY CONDITIONS OR RESER-VATIONS.

II.3. Territorial Transfer

Inadequacy of political, economic, social or educational preparedness

should never serve as pretext for delaying independence (Para. 13 Article 3).

Indonesia’s territorial claim on West Papua was merely based on Soekarno’s expansionist ambitions - no legal ground. A special Legalistic Approach designed by the USA to assist the accomplishment of Soekarno’s ambitions - based on ideological manipulation in cold-war economics and politics – was instrumental in the territorial transfer process. The mediating role of the US diplomat Bunker had totally dictated the Acting UN Secretary-General (U Thant)’s responsibility to ensure and enforce fair implementation of the ‘declaration’ in the accomplishment of West Papuan Decolonization process.

II.4. Denial & Removal From Decolonization

ABORTION of West Papua as a Non-Self-Governing Territory in the process to its full independence and its subsequent REMOVAL from the UN Decolonization List was a serious violation against UNGA Resolution 1514 (XV) and other related universally applied principles.

The self-explanatory contents of all UNGA Resolutions, related to the Political Status and the Decolonization Process of West Papua are still applicable.

Political Status: No articles in the UNGA Resolution 2504 (XXIV) of 19 November 1969, clearly defines UN General Assembly’s decisions on:

1. The REMOVAL of West Papua from UN Decolonization List,

2. The ABORTION of West Papua from its Decolonization

Process (Process To Freedom),

  1. The DENIAL of West Papua from its international status as

IGNOMINIES: Human Rights Appeal on the International Violations in West Papua -8-

Non-Self-Governing Territory’, and

The UN General Assembly’s recognition on:

4. The ‘New National Political Status’ of West Papua as a

territory, integral part of Indonesia.


III. THE MURDERERS OF A STATE AND

NATION

All peoples have the rights to self-determination; by virtue of that rights they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development (Para. 13 Article 2).All armed action or repressive measures of all kinds directed against dependent peoples shall cease in order to enable them to exercise peacefully and freely their rights to complete independence, and the integrity of their national territory should be respected (Para. 13 Article 4). Any attempt aimed at the partial or total disruption of the national unity and the territorial integrity of a country is incompatible with the purposes and principles of the United Nations (Para. 13 Article 6).

Actually, a true international conspiracy had occurred in the transferring process of West Papua to Indonesia. The following outline reflects the UNITED NATIONS and a number of its Member States that had taken part in the West Papuan Decolonization ABORTION Process, i.e., the murder of West Papua as a non-self-governing territory and people. It contains initial master-minders of the process, as well as the list of State Parties that had legitimised the process:

III.1. The United Nations:

Total INCAPABILITY of the (Acting) UN Secretary General, U Thant, in enforcing all international laws applicable in the defence of the Inalienable Rights of West Papua as a Non-Self-Governing Territory and Nation in process to full independence under UN Decolonization program is unacceptable and much questionable (whereas, the late UN Secretary-General, Dag Hammarskjöld was promoting Self-Determination for West Papua - an approach that

didn’t favour the Dutch nor favoured the Indonesian claim).

“…It was not in the Dutch interests to fight again with Indonesia because of the Papuans. So they had to solve it with Indonesia and they were very willing to come to an agreement with Indonesia. And they were not the only ones because the United Nations actually played the WORST ROLE in this whole affair… It was the United Nations that had the official role for looking after the RIGHT WAY that the Act Of Free Choice was going in a democratic way…” (Dr. Hans Meijer, Dutch Historian, ABC Radio National Asia/ Pacific program, first broadcast Tue. Apr. 17, 2001 - Documents show Dutch support for West Papua takeover). “John Stalford’s statements…”

III.2. The USA:

As one of the key initiators and decision-makers, John F. Kennedy and his Administration represented US’s Interests in the process. “...What moves me is my conviction that in our COMMON INTERESTS, the present opportunities for peaceful settlement in this painful matter must not be lost...” (US President John F. Kennedy in his Secret Letter to the Dutch PM de Quay - 2 April 1962). “…What we are going to do on West New Guinea was in the INTEREST of the United States…” (US Attorney General, Robert F. Kennedy to Indonesia’s President Soekarno, Jakarta – 1962). With Bunker as mediator in the SECRET NEGOTIATIONS, the

talks were an unending retreat by the Dutch from their initial standpoint (Dr. Poulgrain, Biak - September 2000). Kennedy’s continuous pressure on both Indonesia and the Netherlands for the settlement of the conflict through SECRET NEGOTIATIONS. The SECRET NEGOTIATIONS were held without any native Papuan Representatives At the same time, J.F. Kennedy repeatedly used two interesting and questionable terms: for our common INTERESTS and for JUSTICE. For one thing, common interests reflect the Cold War Era and the Natural Resources in West Papua that could be exploited for the economic interests of the West. However, why did President Kennedy search for JUSTICE? Was there any injustice between Indonesia and the Netherlands, between the U.S.A. And Indonesian? Or was it between Papuans the Americans?

III.3. The Netherlands:

“ … The Netherlands position, as we understand it, is that you wish to withdraw from the territory of West New Guinea and that you have NO OBJECTION to this territory eventually passing to the control of Indonesia…” (US President John F. Kennedy’s Secret Letter to the Dutch PM de Quay - 2 April 1962). During the SECRET NEGOTIATIONS in 1962 that led to the (New York) Agreement, Jozef Luns’ (Dutch Foreign Minister) instructions to the Dutch Representative, van Roijen were so counter-productive in helping to attain SELF-DETERMINATION for the Papuans (Dr. Greg Poulgrain, Biak – September2000). In February 1969, the Dutch Foreign Minister, Jozef Luns, said in the cabinet that he was convinced that the Act Of Free Choice would not be honest because if it was honest the Papuans would vote against Indonesia and he was certain that the poll results would not go against Indonesia but that it would be in favour of Indonesia. And that was actually the outcome. But Luns said this

already in February 1969 (more than half a year before the Act Of Free Choice). Wasn’t this undemocratic and a FARCE. Dr. Hans Meijer uncovered the incriminating documents, which show the Dutch government of the day gave tacit approval to undemocratic arrangements for the 1969 Act Of Free Choice, an orchestrated voting process by a small number of pre-appointed (Pro Indonesia) tribal leaders, and placed them at gun-point to decide the fate of the territory. The Dutch Government has launched an inquiry into information contained in SECRET documents on the transfer of Dutch New Guinea - now known as Papua or West Irian – to Indonesia’s recolonisation in the 1960s. The documents include the minutes of Dutch cabinet meetings and confidential correspondence with Indonesian officials. The documents contradict claims by successive Dutch governments and Papuan IGNOMINIES:

people that the Netherlands tried to protect the Papuan people from the Indonesian take-over.

Dr. Meijer acknowledges archives from former Dutch Ambassador to Indonesia in 1960s, Mr. Schiff, for the first time that there are some proofs that the Dutch Government indeed had double roles (two faces) during the West Papua Decolonisation Processes. The Netherlands was in fact pretending to help the Papuans, but actually encouraging Indonesia to recolonise the territory. Take an example; approving the outcome of the undemocratic Act of Free Choice on November 19, 1969 is the strongest fact that supports Dr. Meijer’s findings.

III.4. Indonesia:

“ …Jakarta is not interested in the Papuans but in West Irian as territory…” (Brig. General Ali Moertopo, Indonesian Sr. Officer In Charge for the Act Of Free Choice – 1969) There are absolutely no acceptable facts or even legal grounds whatsoever in the International law, that can be used to justify Indonesia’s territorial claim on West Papua. “U.N. SUPPORTED ACT OF ANNEXATION”, is the right label to define Indonesia’s claim of the Territory.

III.5. Other 81 Nations:

The following nations are well known in West Papua and - was, is, and will be remembered in the territory’s history for generations to come as ‘Killers Of A Papuan State And Nation” for their direct participation in the ‘take-note’ and ‘adoption’ of UNGA Resolution 2504 (XXIV), 19 November 1969, that has put West Papua in a considerable Human Rights Violations situation:

Afghanistan

Algeria

Australia

Austria

Argentina

Honduras

Hungary

Iceland

India

Iran

Pakistan

Panama

Peru

Philippines

Poland

Belgium

Bulgaria

Burma

Byelorussia SSR

Cambodia

Canada

Ceylon

Chile

China

Cuba

Cyprus

Czechoslovakia

Denmark

Dominican Rep.

Ethiopia

Finland

France

Greece

Guatemala

Guinea

Iraq

Ireland

Italy

Japan

Jordan

Kuwait

Laos

Lebanon

Liberia

Libya

Luxembourg

Madagascar

Malaysia

Maldives

Mali

Mauritania

Mexico

Mongolia

Morocco

Nepal

New Zealand

Nicaragua

Nigeria

Norway

Portugal

Romania

Rwanda

Saudi Arabia

Senegal

Singapore

South Africa

South. Yemen

Spain

Sudan

Sweden

Syria

Thailand

Tunisia

Turkey

Ukrainian SSR

USSR

United Arab

Republic

United Kingdom

Uruguay

Yemen

Yugoslavia

IV. INITIAL QUESTIONS TO THE U.N. FOR IMMEDIATE

CLARIFICATIONS:

Any clarification by the United Nations and formal announcement or dissemination on the following questions will be of much assistance in the West Papuans efforts to settle all matters

pertaining to existing Human Rights Violations both Internationally and nationally:

A. TERRITORIAL POLITICAL STATUS IN THE LIGHT OF UNGA RESOLUTION

1514(XV), 14 DECEMBER 1960:

1. When was the International Political Status of West Papua as ‘Non-Self-Governing Territory’ officially stripped off by the United Nations and, on what legal base?

2. When was the ‘Right To Decolonization’ of West Papua officially aborted by the United Nations and, on what legal base?

3. When was West Papua officially excluded by the United Nations from the Decolonization List and, on what legal base?

4. Malaysia, East Timor and West Papua were in the same ‘UN Decolonization Program’ and in the same Indonesian Annexation Plan. A Thorough and reasonable explanation has to be provided by the United Nations as to why, discrimination occurred in the implementation of all

applicable, related international instruments; whereby, in the case of Malaysia all were completely observed - in the case of East Timor all were finally made up, while in the case of West Papua all related international laws were totally ignored and unobserved?

B. REFERENDUM PRACTICES IN THE LIGHT OF THE NEW YORK

AGREEMENT – 1962:

  1. The official exclusion of ‘native’ Papuan Representatives in the negotiation process, Papuan Plenipotentiaries in the signing of the Agreement and intended SECRET NEGOTIATIONS approach adopted. 2. Deliberate shift of the meanings of questionable terminologies applied by the negotiating parties in the New York Agreement – 1962: a. Act Of Self-Determination (why Act Of Free Choice?) b. ‘Musyawarah’ = deliberation (why ‘consultation’?) a. ‘One man one vote’ (why ‘representation’?)

C. TERRITORIAL AND POLITICAL STATUS OF WEST PAPUA IN THE LIGHT

OF UNGA RESOLUTION 2504 (XXIV), 19 NOVEMBER 1969:

The Resolution does not contain any clear definition pertaining to the political status of West Papua. Clarification is required for the following:

1. Articles containing ABORTION of Decolonization in Process, and REMOVAL of West Papua from the UN Decolonization List.

2. Articles containing international formal recognition of the territory as an integral part of Indonesia with all legal backup references related thereto (On what legal basis, West Papua is recognized internationally as a part of Indonesia?)

3. Article 1 of the Resolution contains appreciation for the completion of all tasks of the UN Secretary-General in the implementation of the New York Agreement. The Agreement itself was a fraud. Involvement of UN in support of such a scandalous decolonisation process could be classified as an IGNOMINY.

4. Appreciations in support of international assistance to Indonesia for the development in Irian Jaya as contained in Article 2 of the Resolution (as it could be defined as formal commencement of international presence in the field Natural Resources exploitation that have become one of the main triggering aspects of today’s Human Rights Violations).

  1. Take-note’ in the adoption of the resolution clearly reflects total incapability of the UNGA and the absolute weakness of the Resolution itself in terms of applicable International Laws.

U.N. NATIONS GENERAL ASSEMBLY

DECLARATION ON THE GRANTING OF INDEPENDENCE TO COLONIAL

COUNTRIES AND PEOPLES. A/RES/1514 (XV) 14 DECEMBER 1960.

The General Assembly, Mindful of the determination proclaimed by the peoples of the world in the Charter Of The United Nations to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women, and of nations large and small and to promoter social progress and better standards of life in larger freedom, Conscious of the need for the creation of conditions of stability and well-being and peaceful and friendly relations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of all peoples, and of universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language or religion, Recognizing the passionate yearning for freedom in all dependent peoples and the

decisive role of such peoples in the attainment of their independence, Aware of the increasing conflicts resulting form the denial or of impediments in the way of the freedom of such peoples, which constitute a serious threat to world peace, Considering the important role of the United Nations in assisting the movement for independence in Trust and Non-self-Governing Territories, Recognizing that the people of the world ardently desire the end of colonialism in all its manifestations, Convinced that the continued existence of colonialism prevent the development of international economic cooperation, impedes the social cultural and economic development of dependent peoples and militates against the United Nations ideal of universal peace, Affirming that peoples may for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic cooperation, based upon the principle of mutual benefit, and international law, Believing that the process of liberation is irresistible and irreversible and that, in order to avoid serious crises, on end must be put to colonialism and all practices of segregation and discrimination associated therewith, Welcoming the emergence in recent years of a large number of dependent territories into freedom and independence, and recognizing the increasingly powerful tends towards freedom in such territories which have not yet attained independence, Convinced that all peoples have an inalienable rights to complete freedom, the exercise of their sovereignty and the integrity of their national territory, Solemnly proclaims the necessity of bringing to a speedy and unconditional end colonialism in all its form and manifestations, And to this end, Declares that:

1. The subjection of peoples to alien subjection, domination and exploitation constitutes a denial of fundamental human rights, is contrary to the Charter of the United Nations and is an impediment to the promotion of world peace and cooperation.

2. All peoples have the rights to self-determination; by virtue of that rights they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.

3. Inadequacy of political, economic, social or educational preparedness should NEVER serve as pretext for delaying independence.

4. All armed action or repressive measures of all kinds directed against dependent peoples shall cease in order to enable them to exercise peacefully and freely their rights to complete independence, and the integrity of their national territory shall be respected.

5. Immediate steps shall be taken in Trust and Non-Self-Governing Territories or all other territories which have not yet attained independence, to transfer all powers to the people of those territories, without any conditions or reservations, in accordance with their freely expressed will and desire, without any distinction as to race, creed or colour, in order to enable them to enjoy complete independence and freedom.

6. Any attempt aimed at the partial or total disruption of the national unity and the territorial integrity of a country is incompatible with the purposes and principles of the United Nations.

  1. All states shall observe faithfully and strictly all provisions of the Charter of the United States, the Universal Declaration of Human Rights and the present Declaration on the basis of equality, non-interference in the internal affairs of all States, and respect for the sovereign rights of all peoples and their territorial integrity.

THE U.N. RESOLUTION ON THE OUTCOME OF THE “Act of Free Choice” IN

WEST PAPUA, 1969

RESOLUTION 2504 (XXIV), 19 NOVEMBER 1969

The General Assembly, take note of the report of the Secretary-General and acknowledge with appreciation the fulfilment by the Secretary-General and his Representative of the tasks entrusted to them under the 1962 Agreement between Indonesia and the Netherlands; and express appreciation of any assistance provided through the Asian Development Bank, through institutions of the United Nations or through other means to the Indonesian Government in its efforts to promote the economic and social development of West Irian. Introducing the draft of resolution, the Foreign Minister of Indonesia said that his Government had carried out its responsibility to hold the act of free choice for the people of West Irian, with the assistance, advice and participation of the Secretary-General's Representative, and that the implementation of the final phase of the Agreement was not only the honouring of an international agreement but also the end of a long struggle for the unity and territorial integrity of Indonesia. The Indonesian minister stated that it was easy to criticize the implementation of such a complex political exercise, especially when measuring it by so-called international standards that did not necessarily fit to conditions and situations in Asia. West Irian was one of the most undeveloped regions of the world, and the special circumstances prevailing there, as well as the complex political background of the question, should be taken into account. The people of West Irian had firmly expressed their will to remain a part of Indonesia.

The Foreign Minister of the Netherlands stated that the interests of the people of West Irian had been the paramount concern of the Netherlands: his country would continue to translate that concern into concrete action that would reflect the modified circumstances. The Secretary-General and his Representative had carried out their tasks in a exemplary manner, the Netherlands representative said. However, doubts on the part of the Netherlands with respect to the 1962 Agreement had not been moved in the final phase of its implementation. The report of the Secretary-General's Representative confirmed, to some extent, that those doubts were not unjustified, he added. Nevertheless, the Netherlands recognizes and abides by the outcome of the act of self-determination. The method and procedures applied in the implementation of the act of free choice were widely commented upon. Ghana and Sierra Leone were among members that expressed reservation concerning the method followed and considered that the people of West Irian had not exercised their right to self-determination within the meaning of the Indonesian-Netherlands Agreement. Ghana noted it was a matter of record that Indonesia had rejected the method proposed by the Secretary-General's Representative for the act of free choice. Because of the questionable method used in ascertaining the will of the West Irian people, Ghana could not subscribe to a draft resolution that sought a gloss over what it considered to be essential violations of the 1962 Agreement. Ghana consequently proposed an amendment to the draft resolution. Bu the amendment, the Assembly would:

(1) take note of the report of the Secretary-General and acknowledge with appreciation the fulfilment by the Secretary-General and his Representative of the tasks entrusted to them under the 1962 Agreement between Indonesia and the Netherlands;

(2) decide that the people of West Irian should be given a further opportunity, by the end of 1975, to carry out the act of free choice envisaged in the Agreement, and

(3) express appreciation of any assistance provided through the Asian Development Bank, through institutions of the United Nations or through other means to the Indonesian Government in its efforts to promote the economic and social development of West Irian. Togo also expressing misgivings about the method chosen, recalled that the General Assembly, by its resolution (1514) of 14 December 1960 (on the granting of independence to colonial countries and peoples), had emphasized that a lack of political, economic, and social preparation could never serve as a pretext to delay independence of any country. Togo supported Ghanaian amendment. Dahomey and the Democratic Republic of Congo also expressed support for the Ghanaian amendment. Speaking in support of the six-power draft resolution, Algeria, Burma, India, Iran, Japan, Kuwait, Malaysia, Saudi Arabia, and Thailand variously stated that the issue before the Assembly was NOT one of self-determination of the national unity, but of the affirmation of the national unity and territorial integrity of the Republic of Indonesia. West Irian was a SPECIAL CASE. India said, and the method used for the act of free choice there could not be considered under any circumstances a precedent for cases of self-determination in territories still under colonial domination. Moreover, Malaysia pointed out, the Agreement was bilateral; any objection or reservation about its implementation should come from the Netherlands and not from the Assembly, which was only called upon to take not (in witness) of the Secretary-General's report.

Saudi Arabia added that the amendment submitted by Ghana did not seek to amend the draft resolution but rather an agreement between two Member States. Indonesian stressed that no approval was required either of the Agreement itself or of the Secretary-General's report; Indonesia could not accept the Ghanaian amendment in its present form. On 19 November, a motion by Ghana to have a paragraph-by-paragraph vote on its amendment was rejected by a vote of 58 to 31, with 24 abstentions. The Ghanaian amendment as a whole was then put to the vote and was rejected by a rollcall cote of 60 to 15, with 39 abstentions. At the request of the Democratic Republic of Congo, the phrase "Takes note of report of the Secretary-General" in the first operative paragraph of the six-power draft resolution was voted on separately and was adopted by 80 votes to 6, with 14 abstentions. The first paragraph as a whole was the adopted by 86 cotes to 0, with 27 abstentions. The test as a whole was adopted as Resolution 2504 (XXIV) by a roll-call vote of 84 to 0, with 30 abstentions. (For text of resolution and voting details, see DOCUMENTARY REFERENCE below). RESOLUTION 2504 (XXIV), as proposed by six-powers, AL.574, adopted by Assembly on 19 November 1969, meeting 1813, by roll-call vote of 84 to 0, with 40 abstentions as follows:

In favour: Afghanistan, Algeria, Argentina, Australia, Austria, Belgium, Bulgaria, Burma, Byelorussia SSR, Colombia, Canada, Ceylon, Chile, China, Cuba, Cyprus, Czechoslovakia, Denmark, Dominican Republic, Ethiopia, Guinea, Honduras, Hungary, Iceland, India, Indonesia, Iran, Iraq, Ireland, Italy, Japan, Jordan, Kuwait, Laos, Lebanon, Liberia, Libya, Luxemburg, Madagascar, Malaysia, Maldives, Mali, Mauritania, Mexico, Mongolia, Morocco, Nepal, Netherlands, New Zealand, Nicaragua, Nigeria, Norway, Pakistan, Panama, Peru, The Philippines, Poland, Portugal, Romania, Rwanda, Saudi Arabia, Senegal, Singapore, South Africa, Southern Yemen, Spain, Sudan, Sweden, Syria, Thailand, Tunisia, Turkey, Ukrainian, SSR, USSR, United Arab Republic, United Kingdom, United States, Uruguay, Yemen, and Yugoslavia.

Against: -- n o n e ---

(2) Appreciates any assistance provided through the Asian Development Bank, through

institutions of the United Nations or through other means to the Government of Indonesia

in its efforts to promote economic and social development in West Irian.

------------------------------------------------------------------------------------

Plenary Meeting - 1813 19 December 1969

------------------------------------------------------------------------------------

DISKRIMINASI ORANG PAPUA

SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL DI PAPUA

Menguak Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity di Papua”


REALITAS POLITIK DISKRIMINASI RASIAL TERHADAP ORANG PAPUA


OLEH

SAGRIM FRANK HAMAH

(Peneliti Lepas)


Tematik issu :

1) Kerangka Hukum

2) Impunity, yaitu kasus Peristiwa konflik antar suku dan etnis

3) Diskriminasi terhadap etnis papua, dalam hal ini tentang KTP, terutama mengurus KTP di Jogjakarta, tidak diberikan.

4) Diskriminasi terhadap etnis Papua, dalam hal ini tentang SDM, dianggap ketinggalan.

5) Diskriminasi terhadap Masyarakat Adat.

6) Tindakan Pembatasan terhadap etnis; Religius Etnik.

7) Pengabaian hak-hak Idps korban konflik etnis

8) Diskriminasi rasial di Papua

A. Diskriminasi secara kultural merupakan fenomena sosial yang terjadi di belahan bumi manapun di dunia, namun kemudian suatu negara melakukan diskriminasi terhadap warga negaranya/individu di wilayahanya berdasarkan kebijakan-kebijakan merupakan pengingkaran atas harkat-harkat kemanusiaan yang sulit untuk ditolerir. Apalagi dalam konteks Indonesia yang konstitusinya mendasarkan diri kepada negara hukum (rechtstaat).

  1. Diskriminasi rasial merupakan politik diskriminasi yang sudah berlangsung sejak lama di Papua, bahkan jauh lebih tua dari umur masuknya Papua kedalam NKRI. Politik diskriminasi rasial berakar dan mulai diterapkan sejak jaman penjajahan Belanda dengan kebijakan segregasi rasialnya sebagai salah satu contohnya adalah pembatasan terhadap kelompok untuk mendapat pendidikan.

  1. Diskriminasi rasial di Indonesia juga dilegitimasi oleh adanya konflik hukum (conflict of laws), yaitu berbagai pertentangan di dalam konstitusi (pertentangan antar pasal), pertentangan antar Undang-undang, dan pertentangan di dalam hirarki pertauran hukum dan perundang-undangan yang lain. Konflik hukum justru menjadi celah bagi terobosan berbagai kepentingan untuk melakukan tindakan diskriminatif secara lebih luas.

D. Kebijakan politik rasial tersebut yang kemudian dieskalasi dengan kegagalan negara untuk membangun kesejahteraan sosial, yang pada akhirnya banyak mengakibatkan berbagai tindak-tindak rasialisme yang bermuara kepada kekerasan terhadap kelompok etnis Papua yang dilakukan secara sistematis, seperti Represifitas Militer terhadap rakyat Papua, pembunuhan pembunuhan secara brutal, Negara tidak mampu memberikan perlindungan bahkan keadilan/pemulihan kepada korban-korban di Papua.

E. Tidak saja dalam konteks etnis Papua, kebijakan diskriminasi juga dialami oleh masyarakat adat yang selama ini terampas hak-hak adatnya, antara lain hak atas tanah ulayatnya, hak atas pengelolaan sumberdaya alam, dan hak mereka untuk mendapatkan hak-hak sipil dan politik.

F. Pembatasan terhadap kebebasan berkeyakinan mengakibatkan pengingkaran atas hak-hak sipil mereka sebagai warga negara, misalnya hak untuk membentuk keluarga dan mempunyai keturunan lebih banyak seperti yang dialami oleh masyarakat atau komunitas etnik yang dibatasi dengan keberhasilan pemerintah dalam menerapkan penggunaan KB.

G. Selama periode sebelum 1998, tidak ada upaya negara untuk melakukan penghapusan diskriminasi rasial, bahkan tidak jarang fakta-fakta diskriminasi tersebut tidak diakui sebagai diskriminasi. Kemudian baru pada tahun 1999, setelah terjadi reformasi dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, negara Republik Indonesia meratifikasi International Convention on Elimination of All Forms Racial Discrimination pada tahun 1999, karena desakan komunitas Internasional.

E. Sampai saat ini kebijakan penghapusan rasial belum sepenuhnya dilaksanakan. Misalnya berbagai kasus diskriminasi rasial masih terjadi di Papua, dan negara belum melakukan perlindungan yang efektif atau pemidanaan atas diskriminasi rasial tersebut sekalipun itu dilakukan oleh aparat negara. Bahkan upaya hukum tersebut belum tercermin dengan masih berlakunya berbagai peraturan perundangan lainnya yang diskriminatif.


ISU TEMATIK

A. KERANGKA HUKUM

1. Di Indonesia, masih terdapat hukum yang diskriminatif dan bertentangan dengan konvensi ICERD. Hal ini disebabkan oleh adanya konflik hukum (conflict of laws), yaitu pertentangan di dalam konstitusi (UUD 1945), pertentangan antar Undang-undang (UU), dan pertentangan di dalam hierarki peraturan hukum dan perundang-undangan, seperti antara Peraturan Daerah (Perda) dengan UU di atasnya atau UU dengan konstitusi. Misalnya seperti UU Pornografi yang bertentangan dengan BHINEKA TUNGGAL IKA, bahkan merupakan undang-undang diskriminasi terhadap budaya, dan adat istiadat daerah lain yang memiliki budaya bebas.

2 Konflik hukum terjadi disebabkan oleh adanya kepentingan para pembuat kebijakan, perspektif yang bias rasial (pengutamaan dan pembatasan), dan kepentingan dari kelompok modal.

3. Konflik hukum di dalam konstitusi muncul karena terjadi pertentangan antara pasal yang satu dengan pasal yang lain. Misalnya, Pasal 28i Ayat 2 UUD 1945 mengatakan: setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Pasal ini bertentangan dengan pasal 18b ayat 2 yang berbunyi negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Kalimat sepanjang………dan seterusnya dalam pasal 18b Ayat 2 tersebut justru mengancam eksistensi masyarakat adat yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan jaman.


5. Di tingkat daerah Papua muncul Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang disusun oleh Majelis Rakyat Papua, namun harus mendapat persetujuan Jakarta dengan syarat bahwa setiap pasal yang tidak sesuai harus dicoret. Hal ini mengakibatkan kewenangan daerah khusus dibatasi.


B. IMPUNITY DALAM KASUS DISKRIMINASI RASIAL DI PAPUA

  1. Konflik Etnis di Sorong 2000 Konflik yang terjadi di sorong melibatkan etnis Papua dan Bugis makasar, dan sampai saat ini tidak tertangani dengan baik.

  2. Penembakan secara brutal pada 31 desember 2008 di kabupaten sorong Selatan oleh aparat keamanan (TNI Polri), menewaskan Isak Lemauk, belum tertangani secara tuntas.

  3. konflik etnis di Jayapura 1982, dengan kerugian sangat tinggi dalam sejarah pembangunan kota Jayapura, belum ditangani secara tuntas.

  4. Konflik antara warga dan TNI polri di jayapura mengakibatkan Kampus Uncen dibongkar oleh aparat kepolisian pada 2009.

Penutup

Impunitas terjadi diakibatkan oleh beberapa hal, di antaranya: a) tidakadanya mekanisme yudisial maupun ekstra yudisial yang memadai untuk menghukum pelaku dan menghadirkan keadilan bagi korban; b) tidakadanya mekanisme truth seeking dan pembangunan rekonsiliasi dalam konflik etnis; c) tidakadanya mekanisme reparasi bagi korban; d) bahkan kejahatan yang berbasis rasial hanya dianggap sebagai kejahatan umum/biasa.

C. DISKRIMINASI NEGARA TERHADAP ETNIS PAPUA

Walaupun keberadaan etnis Papua di Indonesia sudah lama sejak pepera 1969, namun keberadaan mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia masih menyisakan banyak permasalahan diskriminasi rasial antara lain dalam hal perlakuan status derajat di Negara Republik Indonesia. Permasalahan sebagian etnis Papua yang diperlakukan sebagai yang terkebelakang (tanpa memberi kesamaan derajat).

Permasalahan Etnis Papua Yang Diperlakukan Sebagai Warga yang terkebelakang (tak berderajat)

Selain permasalahan ketidak samaan derajat, praktek diskriminasi rasial terhadap kelompok etnis Papua di Indonesia adalah permasalahan masih adanya kelompok etnis Papua yang diperlakukan sebagai orang takberderajat

D. DISKRIMINASI TERHADAP MASYARAKAT ADAT

General Recommendation No. 23: Indigenous Peoples : 18/08/97. Point 1 menyatakan bahwa “ In the practice of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination, in particular in the examination of reports of States parties under article 9 of the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, the situation of indigenous peoples has always been a matter of close attention and concern. In this respect, the Committee has consistently affirmed that discrimination against indigenous peoples falls under the scope of the Convention and that all appropriate means must be taken to combat and eliminate such discrimination”.

Dalam general recommnendation point 1 tersebut jelas menyatakan bahwa ‘...the situation of indigenous peoples has always been a matter of close attention and concern. In this respect, the Committee has consistently affirmed that discrimination against indigenous peoples falls under the scope of the Convention and that all appropriate means must be taken to combat and eliminate such discrimination”. Point ini mendasari bahwa persolan diskriminasi terhadap Masyarakat Adat juga dapat masuk dalam ruang lingkup ICERD.

Sebuah pertemuan di Tanah Toraja pada tahun 1993, mendefenisikan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, budaya, sosial dan budaya sendiri. Kingsbury (1995:33) memberikan ciri kelompok-kelompok yang disebut sebagai kelompok masyarakat adat.

Salah satu ciri yang disebut adalah adanya keterkaitan yang panjang (lama) dengan wilayahnya. Selain ciri tersebut, kelompok-kelompok masyarakat adat dapat dikenali dari ciri-ciri seperti: adanya pertalian budaya yang dekat dengan suatu areal pertanahan atau teritori tertentu, keberlanjutan sejarah dengan penghuni-penghuni tanah sebelumnya, perbedaan-perbedaan sosio ekonomi dan sosio kultural dengan penduduk di sekitarnya, karakteristik bahasa, ras, kebudayaan materiil dan spiritual dan sebagainya yang berbeda, dan dianggap sebagai “indigenous” oleh penduduk sekitarnya.

Bentuk Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat di Papua

Dalam hal ini, bentuk diskriminasi rasial yang terjadi di Indonesia terjadi dalam 4 (empat) hal yaitu dalam kasus Perampasan Tanah/sumber daya alam, Kebijakan Pembangunan, Politik Pencitraan dan Diskriminasi akibat Regulasi Negara

  • Perampasan Tanah dan Sumber Daya Alam: Awal Bencana bagi Masyarakat Adat di Papua

Secara umum, hak-hak masyarakat adat yang mendapat perlakuan diskriminastif adalah hak-hak yang berhubungan dengan tanah dan sumber daya alam yang merupakan wilayah adat. Sumbernya adalah penaifan keberadaan mereka yang menimbulkan pembatasan, dan pengecualian sehingga menimbulkan dampak pada rusaknya hak–hak mereka terutama berbasiskan pada identitas.

Dari ciri-ciri masyarakat adat di Papua, hubungan mereka dengan tanah dan wilayah adat merupakan kunci dari keutuhan mereka sebagai masyarakat adat. Hal itu dikarenakan tanah merupakan satu-satunya ruang yang merupakan tempat bagi masyarakat adat untuk mengekspresikan dirinya. Tanah bagi masyarakat adat selain merupakan ruang ekspresi yang menghubungkan mereka dengan keyakinan, sejarah, budaya dan bahasa, tanah juga merupakan satu-satunnya ruang yang dapat mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Secara umum juga, praktek yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak sesuai dengan General Recommendation point 5, “ The Committee especially calls upon States parties to recognize and protect the rights of indigenous peoples to own, develop, control and use their communal lands, territories and resources and, where they have been deprived of their lands and territories traditionally owned or otherwise inhabited or used without their free and informed consent, to take steps to return those lands and territories. Only when this is for factual reasons not possible, the right to restitution should be substituted by the right to just, fair and prompt compensation. Such compensation should as far as possible take the form of lands and territories.

Selanjutnya problematika yang dihadapi oleh masyarakat adat di Papua khususnya perampasan tanah dan sumber daya alam yang menimbulkan efek terancamnya identitas mereka. Hal ini juga bagian dari diskriminasi. Dalam konteks ini laporan merupakan alternatif memuat yang bagaimana kondisi masyarakat adat Papua yang mengalami tindakan diskriminasi yang pada akhirnya menimbulkan dampak terancamnya identitas mereka, terutama berbasiskan masalah perampasan tanah baik oleh negara mapun oleh perusahaan. Contohnya seperti penebangan hutan sagu di merauke yang dialihfungsikan menjadi sawah padi disertai dengan pengiriman transmigrasi dari pulau jawa.

Fakta yang dialami oleh masyarakat adat di Papua sangat memprihatinkan. Mereka secara sistematis terus menerus mengalami diskriminasi, terutama hilangnya akses mereka terhadap tanah dan sumber daya alam, yang berarti pembatasan dan pengrusakan terhadap ekspresi identitas masyarakat adat. Ini terjadi karena paradigma pengelolaan tanah dan sumber daya alam yang dikembangkan didasarkan pada konsep developmentalisme. Developmentalisme mensayaratkan adanya ketersediaan sumber daya alam. Untuk keperluan itu, negara mencaplok kepemilikan masyarakat adat atas Tanah Ulayat (pada umumnya, kepemilikan masyarakat adat didasarkan pada klaim historis). Hak Menguasai Negara (HMN) terhadap bumi, air, dan sumber daya alam lainnya, dimana pengelolaannya diserahkan pada sektor privat yang tentu saja mengutamakan keuntungan ekonomi pribadinya daripada kesejahteraan masyarakat. Dengan tafsir yang keliru tersebut, Negara menjadikan tanah-tanah ulayat masyarakat adat sebagai perkebunan skala besar yang kepemilikannya diserahkan pada kolaborasi pengusaha dan penguasa (pemerintah). Bahkan tanah ulayat masyarakat adat, yang beberapa diantaranya merupakan Hutan Lindung kemudian diberikan kepada sektor pertambangan swasta. Pengelolaan tanah dan sumber daya alam yang didasarkan pada paradigma developmentalisme di Indonesia, tak dapat dipungkiri telah mendiskriminasi masyarakat adat Papua dari hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam.

Stereotype

Yang dimaksud dengan stereotip di sini adalah sudut pandang yang di(re)produksi secara terus menerus untuk melihat dan mengkategori komunitas lain sebagai komunitas yang serba negatif, seperti tidak beradab, terbelakang, bandel, malas, pembangkang, tidak modern, dan sebagainya. Paska 1965, stereotip seperti ini semakin menguat, khususnya melalui berbagai sosialisasi pengetahuan tentang komunitas-komunitas yang dianggap membahayakan eksistensi kelompok mayoritas dan stabilitas nasional.

PENUTUP

Diskriminasi terhadap masyarakat adat di Papua timbul akibat kebijakan Negara maupun oleh perusahaan, terutama terkait pengusaan tanah dan sumber daya alam yang juga berimplikasi terhadap terlanggarnya hak – hak lain.

DISKRIMINASI RASIAL TERHADAP ETNIK Dan PENGABAIAN RELIGI ETNIK DI PAPUA

Selama ini kepercayaan-kepercayaan lokal yang biasanya dianut oleh kelompok etnis atau sub-etnis tertentu tidak pernah diakui keberadaannya oleh negara. Padahal jumlah mereka sangat besar, tersebar hampir di seluruh pelosok Nusantara, dengan aneka ragam kepercayaan dan praktik-praktik ritual yang mereka anut dan lakukan.

Apa yang disajikan dalam ringkasan laporan ini barulah sketsa beberapa kelompok yang cukup menonjol dalam memperjuangkan hak-hak mereka terhadap tindakan diskriminatif negara. Masih sangat banyak kelompok kepercayaan lokal yang berbasiskan etnis atau sub-etnis lainnya di Papua yang, sayangnya, belum memperoleh perhatian. Diharapkan dengan paparan ringkas dari beberapa kelompok di bawah ini dapat ditengarai pola-pola kebijakan diskriminatif yang telah menafikan hak-hak sipil dan politik mereka.

  1. Pola Kebijakan Diskriminatif

Ada tiga pola kebijakan diskriminatif yang selama ini diderita oleh etnis Papua, khususnya menyangkut penafian kepercayaan lokal mereka oleh negara. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kebijakan diskriminatif yang dilakukan negara bersifat sistemik, menyeluruh dan konsisten diterapkan sejak zaman Orde Lama sampai sekarang, yaitu ;

1. Pola pemilahan antara agama yang diakui dengan yang tidak diakui.

2. Pola penafian hak-hak sipil.

3. Pola dimasukannya kepercayaan lokal sebagai bagian dari agama yang diakui negara.

2. Pola Pemilahan Antara Agama yang Diakui Dengan yang tidak Diakui Negara.

Sekalipun selama ini tidak ada perundang-undangan atau peraturan tentang pemilahan antara agama yang "diakui" dengan yang "tidak diakui" negara, akan tetapi pada praktiknya apa yang disebut sebagai “agama” hanyalah enam agama yang disebut Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu

G. Diskriminasi Rasial di Papua

Gambaran Umum

Tanah Papua luasnya mencapai 422.000 Km hampir mencapai seperempat luas wilayah daratan Indonesia (sekitar 1,9 Km2) dan kaya sumber daya alam, seperti minyak, gas, emas, tembaga, kayu, uranium dan ikan..

Penduduk Papua tergolong ras Negroit Melanesia berkulit hitam dan berambut keriting. Etnik Papua terbagi lagi dalam sub-sub budaya, masing-masing yang bahasanya mencakup 250 bahasa suku menurut catatan etnografi Koenjaraningrat, namun sebenarnya 264 bahasa suku fersi penelitian kami 2007.

Dahulu pulau Papua adalah sebuah daerah koloni dari kerajaan Belanda, yang kemudian diserahkan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui transfer administrasi dari kerajaan Belanda kepada Indonesia pada 1 Mei 1963, dan dipertegas lagi dalam sebuah jajak pendapat yang diprakarsai oleh PBB 1969 yang oleh rakyat Papua dianggap tidak adil dan tidak demokratis.

Catatan sejarah diskriminasi rasial di Papua sudah berlangsung lama bahkan sebelum Papua masuk kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Pemerintah Belanda dan Jepang telah mempraktekan diskriminasi kepada masyarakat Papua. Sebagai contohnya adalah Belanda membatasi orang Papua untuk mengenyam pendidikan. Belanda hanya memberikan kesempatan kepada rakyat Papua yang orang tuanya memegang peranan penting atau yang membantu pemerintah kolonial Belanda. Setelah masuknya Papua kedalam NKRI, diskriminasi rasial masih di praktekan hingga saat ini.

Menanggapi situasi yang terjadi di Papua, Rodolfo Stevenhagen, Pelapor (Rapporteur) Khusus PBB untuk Indigenous People, dalam laporannya di sidang ke-61 tahun 2005 mengatakan, “Masyarakat adat Papua menderita karena diskriminasi yang meluas yang (Hermien Rumrar dan DR. Theodor Rathgeber., “Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Papua Barat”. Halaman 148) @2007, mencegah mereka, dalam hal tertentu, untuk memperoleh akses ke dalam institusi-intitusi di masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan sendiri, seperti dalam hal pendidikan, perawatan, kesehatan, kesamaan pendapatan/penghasilan, pandangan masyarakat umum tentang perempuan, dan harga diri,10 walaupun sudah ada Dewan Adat Papua dan Majelis Rakyat Papua.

Diskriminasi yang terjadi di Papua bisa dilihat dalam 2 (dua) hal;

1. Kebijakan Pembangunan

Kebijakan pembangunan Pemerintah Pusat yang memprogramkan pembangunan untuk Indonesia di wilayah Timur ternasuk Papua, merupakan kebijakan pembangunan yang bersifat umum tanpa ada program khusus yang berbasis penghargaan terhadap nilai – nilai lokal. Bahkan dalam konteks Papua pembangunan masih diliputi bias rasial dan stereotipe terhadap masyarakat Papua. Dalam konteks inilah kebijakan pembanguann menjadi sumber pelanggaran terhadap ICERD.

Tidak ada afirmatif action dalam kebijakan ekonomi sehingga mayarakat asli Papua sangat sulit bersaing dengan orang dari luar Papua. yang memiliki pengalaman dan naluri bisnis yang kuat. Faktor lain adalah Orang Papua sendiri masih dalam budaya transisi dari budaya meramu harus diperhadapkan pada sistem ekonomi modern. Selain itu pemerintah juga memberi peluang yang sangat kecil bagi orang asli Papua untuk mengembangkan ekonominya. Perbankan juga sangat sedikit memberikan Kredit bagi orang Papua untuk meningkatkan ekonominya. Di pasar-pasar orang asli Papua berjualan di trotoar jalan, mereka tidak menikmati faslitas perumahan pasar yang dikuasai oleh non Papua.

Belum adanya tindakan Affirmatif action ini menjadikan masyarakat Papua termarjinalkan dan kondisi inilah yang membuat masyarakat papua sangat rentan mendapat perlakukan yang diskriminatif.

2. Stereotip dan Diskriminasi Pekerjaan Terhadap Masyarakat Papua.

Masyarakat Papua sering distereotipekan kurang terpelajar, berpenampilan kurang menarik, dan malas. Sehingga sangat menyulitkan mereka untuk mendapatkan perkerjaan di bidang-bidang tertentu. Banyak supermarket di Papua yang tidak mempekerjakan orang Papua. Contoh lain adalah di perusahaan swasta seperti Freeport dan British Petroleum. Di Freeport misalnya karyawan asli Papua tidak pernah dipromosikan untuk menduduki tempat-tempat strategis walaupun mereka juga memiliki kemampuan dan kualifikasi yang tidak jauh berbeda dengan yang lain. Akibat dari tindakan diskriminasi ini, karyawan Papua membentuk wadah penampung aspirasi dengan nama “Tongoi Papua.” Mereka kemudian melakukan demo besar-besaran bulan April lalu menuntut pemberdayaan karyawan Papua dan peningkatan upah kerja. Sedangkan di perusahaan British Petroleum, masyarakat setempat dipekerjakan sebagai tenaga security perusahaan

Bentuk diskriminasi rasial lain adalah sebutan rasialis kepada masyarakat Papua paska penyerangan Markas Polisi Sektor Abepura tahun 2000 oleh kelompok tidak dikenal yang menyebabkan aparat polisi melakukan penyisiran. Dalam laporan KPP Komnas HAM untuk kasus Abepura Berdarah ditemukan ungkapan rasialis terhadap para tahanan pada saat dilakukan interogasi. Seperti, “kamu orang Papua hanya tau makan Babi, makanya otaknya sama seperti babi”. “Kamu harus makan daging biri-biri biar pintar sama dengan orang Makasar, Jawa dan Jakarta, “Kamu orang Papua rambut keriting, hitam dan lau-lau ( tidak tahu apa-apa / goblok).

Masyarakat Adat dan Perampasan Tanah Adat di Papua

Perampasan hak-hak masyarakat adat sering tejadi di Papua. Tanah-tanah adat dirampas untuk pembangunan transmigrasi, basis militer dan untuk kepentingan investor tanpa memberikan ganti rugi yang layak. Perampasan tanah-tanah adat ini tidak saja merusak ekonomi masyarakat yang mana mereka mengantungkan hidup dari tanah tersebut tapi juga merusak nila-nilai tradisi yang lama dipegang. Masyarakat Papua selalu menganggap tanah sebagai “IBU’ yang mana tanah itu memberikan perlindungan / memberikan makan dan menganggap “Sungai” sebagai “air susu” yang mengalirkan air kehidupan. Ketika masyarakat melawan, ingin mempertahankan hak dan nilai tradisi mereka, maka dituduh menghambat pembangunan dan menjadi bagian dari separatis. Alasan tersebut dipakai sebagai pembenaran untuk menindak keras atau menciptkan mata rantai kekerasan baru. Contoh kasus adalah perlawan suku Amungme terhadap kehadiran PT Freeport, yang merusak tanah dan lingkungan serta pencemaran sungai. Banyak orang terbunuh karena mencoba mempertahankan hak-hak SDA mereka seperti kasus di daerah-daerah pertambangan seperti Hoya, Agandi, dll. Kasus ini telah dilaporkan oleh Gereja dan diselidiki oleh Komnas HAM tahun 1995.

Masalah Transmigrasi di Papua

Papua merupakan daerah tujuan utama transmigrasi. Dengan adanya program transmigrasi, lahan-lahan subur dan tanah hak ulayat adat di ambil. Sebagai akibatnya masyarakat adat / penduduk asli terpaksa tergeser. Banyak masyarakat terpaksa memilih tinggal di pegunungan. Implikasi lainnya adalah terjadi pengelembungan dalam perbedaan populasi masyarakt asli dan pendatang. Contoh kasus adalah tahun 1970 di Arso salah satu distrik pusat transmigrasi memiliki jumlah penduduk kurang lebih 1000 orang. Namun setelah tahun 2000 jumlah penduduk di Arso menjadi 20.000 orang menjadikan penduduk asli sebagai minoritas. Selain itu, pelayanan kesehatan, pendidikan dan perumahan di daerah-daerah transmigran lebih lengkap daripada di kampung-kampung orang asli Papua. Misalnya di daerah Arso kita bisa melihat bahwa di desa-desa transmigran ada SMA dan SMP serta Puskesamas dari pemerintah, sedangkan di desa-desa orang asli Papua pemerintah tidak membangun pelayananan tersebut tetapi Gereja yang bertanggungjawab.2

Stigmatisasi Papua Merdeka OPM

Salah satu bentuk diskiriminasi yang dihadapi masyarakat Papua adalah stigmatisasi OPM. Pemerintah dan aparatus Negara membangun stigma bahwa orang Papua, khususnya masyarakat adat yang terdapat di pinggiran kota dan di dalam hutan diidentikkan dengan OPM dan pemberontak. Sehingga ada justifikasi membasmi mereka. Contoh kasus adalah rekayasa pembobolan gudang senjata di Wamena tahun 2003 yang di lakukan kelompok tidak dikenal. Aparat menuduh bahwa yang melalukan pembobolan itu adalah OPM. Aparat kemudian melakukan penyisiran dan menangkap dan melakukan pembunuhan. Banyak masyarakat yang tidak tahu menahu dan sebagain besar adalah warga sipil / petani menjadi korban dan dituduh kaki tangan OPM. Kasus ini dipakai sebagai justifikasi dibukanya satu batalyon baru di Wamena. Kasus hangat lain adalah pengungsian sekitar 10.000 masyarakat sipil di distrik Yamo Kabupaten Puncak Jaya pasca pembunuhan dua aparat TNI AD yang di lakukan kelompok milisi. Contoh kasus lain adalah kasus Mariedi kabupaten Bintuni. Masyarakat menuntut ganti rugi yang layak atas kayu-kayu yang di ambil oleh PT. DJayanti Group tetapi kemudian Brimob sebagai penjaga perusahaan menembak mati 5 warga karena dituduh terlibat gerakan OPM. Contoh lain adalah operasi ketupat dimana 11 masyarakat sipil dituduh sebagai anggota TPN/OPM di tangkap tanggal 22 November 2003.

Selain itu Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Yang menjadi target dari operasi Militer adalah rakyat Papua yang dituduh membangkang terhadap pemerintah Indonesia. Operasi ini hampir mencakup seluruh wilayah tanah Papua. Banyak rakyat Papua yang terbunuh selama diberlakukanya DOM karena dalam operasi militer tidak memakai sistim tebang pilih, yang ada adalah sistem sapu rata. Fakta kasus seperti yang terjadi di Wasior kabupaten Manokwari dimana aparat tidak membedakan orang yang bersalah atau tidak, namun hanya bertindak dengan melihat dari warna kulit dan rambut.

KESIMPULAN

Di Indonesia diskriminasi rasial masih terjadi, walupun ada kebijakan hukum yang menunjukkan perubahan yang baik. Hal ini disebabkan karena perubahan kebijakan hukum yang ada tidak komperhensif dan bahkan lahirnya kebijakan hukum yang baik tersebut juga disertai lahirnya hukum baru yang masih tetap memberlakukan diskriminasi. Dalam konteks ini terjadilah konflik hukum, bahkan konflik hukum ini terjadi di dalam konstitusi, pasal satu dengan pasal yang lainnya saling kontradiksi.

Selain terjadi kontradiksi di dalam kebijakan hukum yang mengatur diskriminasi rasial, diskriminasi yang terjadi juga diakibatkan oleh kelakuan aparat negara yang dalam menjalankan kewajibannya untuk melayani setiap individu maupun warga negara tetap menerapkan kebijakan/perlakuan diskrinimasi. Perilaku aparatur negara ini mencerminkan bagaimana fenomena diskriminasi telah terjadi secara sistematis dan meluas.

Dalam konteks ini tidak ada tindakan konkrit yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Tidak hanya pembiaran atas fakta tersebut namun juga dapat dirasakan keterlibatan aktif para aparatur negara itu.

Diskriminasi rasial di Papua terjadi dalam berbagai bentuk. Korban yang paling banyak adalah etnis Papua dan Tionghoa dan Masyarakat Suku Bangsa/Etnik terutama berkaitan dengan identitas kepercayaan dan keyakinan mereka.

Dalam konteks Papua pelanggaran terhadap ICERD juga terjadi, bahkan problem mendasar pelanggaran tersebut sampai saat ini tidak diselesaikan. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa diskriminasi rasial di Indonesia masih terjadi dan tidak ada penyelesaian efektif baik melalui kebijakan pembangunan, kebijakan hukum, maupun melalui pengadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar